Wikipedia

Hasil penelusuran

Translate

Kamis, 23 Mei 2013

Ketika Busana Muslimah Dicampakkan

Dewasa ini muncul busana muslimah dengan beragam corak dan mode. Bahkan terpajang di outlet-outlet penjualan yang biasanya dipenuhi baju-baju pengumbar aurat. Namun, kebanyakan busana-busana muslimah tersebut masih mempertontonkan lekuk tubuh, sempit, lagi ketat. Demikian pula aneka jilbab gaul dengan desain seperti topi yang hanya menutupi rambut belaka.
Di sisi lain, busana muslimah hanya dipakai dalam acara-acara tertentu atau kegiatan keagamaan. Misalnya hanya ketika shalat, seorang wanita muslimah berusaha menutupi tubuhnya dari atas sampai bawah sehingga rambut dan kaki tidak terlihat. Namun, begitu salam telah diucapkan, maka keadaannya akan kembali seperti semula.
Mereka keluar rumah dengan mengenakan baju yang mereka sangka telah berdasarkan aturan Islam, akan tetapi kenyataannya tidak memenuhi syarat untuk menutupi aurat. Sehingga masuklah mereka ke dalam kategori “berbusana tetapi telanjang”. Seolah-olah menutup aurat hanya wajib ketika shalat semata atau sekedar kulit tidak terlihat lagi oleh mata lelaki lain. Wa ilallâhil musytaka (kepada Allâh Ta'âla lah tempat pengaduan).
إِذَا الْـمَرْأُ لَـمْ يَلْبِسْ لِبَاسًا مِنَ التُّقَى
تَقَلَّبَ عُرْيَانًا وَإِنْ كَانَ كَاسِيًا
وَ خَيْرُ لِبَاسِ الْـمَرْءِ طَاعَةُ رَبِّهِ
وَ لاَ خَيْرَ فِـيْمَنْ كَانَ عَاصِيًا
Apabila seseorang tidak mengenakan baju ketakwaan,
ia menjelma menjadi manusia telanjang kendati tubuhnya tertutupi.
Sebaik-baik pakaian adalah ketaatan kepada Rabbnya,
tiada kebaikan pada orang yang berbuat kemaksiatan.
RAHMAT ISLAM BAGI KAUM WANITA
Kandungan ajaran Islam, secara khusus sangat memuliakan derajat kaum wanita setelah pada zaman jahiliyah berada dalam level yang sangat rendah dan hak-haknya terinjak-injak. Islam menetapkan aturan-aturan bagi dua jenis manusia, lelaki dan wanita sesuai dengan kodratnya. Islam juga menyamakan kedudukan lelaki dan wanita dalam persoalan-persoalan tertentu, dengan berkaca pada hikmah Allâh Ta’ala.
Aspek-aspek perbedaan antara keduanya pun diakomodasi dengan sebaik-baiknya, sehingga tidak ada yang merasa dirugikan. Konsistensi kaum muslimah dalam menjalankan syariat Allâh, adab-adab Islam dan moralitasnya, itulah metode paling utama dan sarana terpenting bagi pemberdayaan kaum wanita dalam pembangunan umat dan kemajuan peradaban. Hal ini telah dibuktikan oleh sejarah, sehingga semestinya memperoleh dukungan dan penghargaan dari seluruh umat Islam.
SLOGAN-SLOGAN MENYESATKAN BAGI KAUM MUSLIMAH
Para musuh Islam sangat berkepentingan terhadap penyelewengan kaum muslimah. Pasalnya, mereka mengetahui benar posisi strategis seorang wanita muslimah dalam pembinaan dan pembentukan generasi Islam yang kuat.
Melalui corong-corong (media massa) yang ada di negeri-negeri muslim, para musuh Islam itu melontarkan slogan-slogan yang bombastis, dalam rangka mengenyahkan kaum muslimah dari kesucian, benteng kehormatan dan peran penting pembinaan umat.
Dengan mengatas namakan tahrîrulmar‘ah (kebebasan bagi kaum Hawa), arraghbah filistifâdah min thâqatil mar‘ah (pemberdayaan kaum wanita), inshâfulmar‘ah (keadilan bagi kaum wanita/emansipasi) dan slogan-slogan yang berdalih modernisasi, para musuh Islam dan antek-anteknya mencoba memperdaya kaum muslimah.
Slogan-slogan dan propaganda-propaganda ini diarahkan kepada satu tujuan. Yakni menyeret kaum wanita Islam keluar dari manhaj syar’i, dan menyodorkannya kepada ancaman eksploitasi aurat, kenistaan, kehinaan dan fitnah. Sebagian dari kalangan muslimah ada yang bertekuk lutut menghadapi propaganda yang tampaknya baik, yakni untuk mengentaskannya dari “penderitaan”. Demikian yang dipersepsikan oleh kaum propagandis, baik dari kalangan sekularis maupun liberalis.
Orang-orang semacam ini, yang menjauhi syariat Allâh terancam dengan kehidupan yang sempit lagi menyesakkan.
Allâh Ta'âla berfirman:
(Qs Thâhâ/20:124)
Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku,
maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit,
dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.
(Qs Thâhâ/20:124)
TRAGEDI PELUCUTAN DAN PEMBAKARAN BUSANA MUSLIMAH
Gerakan “pembebasan” wanita sering unjuk gigi menggalang dukungan untuk menjauhkan kaum muslimah dari jati dirinya yang terhormat. Mereka melakukan demonstrasi dan menolak aturan yang menjaga kehormatan wanita. Hal itu bukan baru muncul belakangan ini, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak tahun 1919 M.
Pada waktu itu muncul demonstrasi kaum muslimah di Mesir tanggal 12 Maret 1919 di bawah komando Huda Sya’rawi untuk bersama-sama melepaskan hijab (pakaian muslimah yang sempurna). Ia adalah wanita Arab pertama yang melepaskan hijab. Selanjutnya, ia diikuti oleh istri Sa’ad Zaghlul. Wanita ini bersama wanita-wanita yang sudah terperdaya melepaskan hijab dan menginjak-injaknya. Dan kisah ini berakhir dengan pembakaran baju-baju yang menjadi identitas kaum muslimah tersebut.
Kebebasan yang mereka tuju, sebenarnya malah menjerumuskan mereka dalam kenistaan. Pasalnya, tindakan tersebut merupakan awal tercampaknya kehormatan dan keutamaan mereka.

PERLAKUAN ISLAM DAN MUSUH ISLAM TERHADAP MUSLIMAH
Allâh Ta'âla menciptakan wanita sebagai sumber ketenangan bagi lelaki dan menjadikannya sebagai tempat penyemaian benih. Seorang wanita juga bertanggung-jawab atas rumah suaminya. Allâh Ta'âla mentakdirkannya untuk mengandung dan bertugas mendidik anak-anak. Lantaran sedemikian besar dan berat tanggung jawab tersebut, maka Allâh Ta'âla memberikan tanggung jawab kepada kaum lelaki untuk memimpin dan membimbing wanita.
Sementara itu, kaum kuffar Jahiliyyah sangat membenci keberadaan wanita di tengah mereka. Bahkan ketika seorang anak perempuan lahir, tindakan yang mereka ambil, ialah membunuh dengan cara sadis atau menguburkannya hidup-hidup. Atau membiarkannya dalam keadaan nista. Pada masa itu, wanita pun tidak mempunyai hak waris, pendapatnya tidak pernah diperhatikan. Adapun seorang lelaki, ia boleh menikahi wanita manapun yang diinginkannya. Dia pun bebas untuk menyatukan banyak wanita di pelukannya, dan bahkan bebas untuk berbuat tidak adil kepada istri-istrinya.
Kemudian Islam datang untuk menyelamatkan kaum wanita dari kezhaliman masa Jahiliyah dan memberinya hak waris. Lelaki hanya boleh menikahi sampai empat wanita saja, dengan syarat sanggup berbuat adil kepada istri-istrinya. Jika tidak mampu, maka hanya boleh menikahi satu wanita saja.
Pandangan kaum kuffar zaman ini terhadap wanita sama saja dengan masa lampau. Mereka ingin agar kaum wanita menangani pekerjaan-pekerjaan kaum lelaki yang di luar kodratnya, supaya kaum wanita terlepas dari kemuliaan, kehormatannya, dan tampil menarik di hadapan para lelaki. Hingga dapat dimanfaatkan dengan harga murah dan mudah selama masih mempunyai daya tarik. Sebaliknya, jika sudah surut pesonanya, maka ia pun dipinggirkan.

BERBUSANA MUSLIMAH HUKUMNYA WAJIB
Persoalan hijab (busana muslimah yang sempurna) tidak membutuhkan ijtihad seorang ulama. Sebab dasar perintahnya sangat jelas terdapat dalam Al-Qur‘ân. Allâh Ta'âla berfirman :
(Qs. al-Ahzâb/33:59)
Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu,
anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin
agar hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,
karena itu mereka tidak diganggu.
Dan Allâh adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(Qs al-Ahzâb/33:59)
Ibnu Katsir rahimahullâh berkata:
"Allâh berfirman untuk memerintahkan Rasul-Nya supaya menitahkan kaum muslimah mukminah secara khusus kepada istri-istri dan putri-putri beliau untuk mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Supaya dapat dibedakan dengan wanita-wanita jahiliyyah dan ciri khas budak-budak wanita. Yang
dimaksud dengan jilbab, yaitu kain yang berada di atas khimâr (penutup kepala)."
Syaikh as-Sa’di rahimahullâh mengatakan:
"Inilah ayat yang disebut sebagai ayat hijaab. Allâh memerintahkan Nabi-Nya supaya meminta kaum wanita (muslimah) secara umum, dan Allâh memulainya dengan penyebutan istri-istri dan putri-putri beliau. Karena mereka merupakan pihak yang paling dituntut (untuk melaksanakannya) dibandingkan wanita lainnya. Orang yang akan memerintahkan orang (wanita) lain, seyogyanya mengawalinya dari keluarganya sebelum orang lain.
Allâh Ta'âla berfirman:
(Qs at-Tahrîm/66:6)
'Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…'
(Qs at-Tahrîm/66:6)
Artinya, di sini mereka diminta untuk menutupi wajah-wajah, leher-leher dan dada-dada mereka. Kemudian Allâh memberitahukan hikmah yang terkandung di balik aturan ini. Yakni "Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu". Ini menunjukkan, munculnya gangguan itu terjadi ketika kaum wanita tidak mengenakan hijab. Pasalnya, ketika tubuh wanita tidak tertutup dengan sebaik-baiknya (wanita tidak berhijab), mungkin saja timbul prasangka bahwa wanita itu bukan wanita baik-baik.
Dampaknya, lelaki yang hatinya sakit akan mengganggu dan menyakiti mereka. Atau mungkin saja mereka akan dihinakan, karena dianggap budak. Karenanya, orang yang mengganggu tidak berpikir panjang. Jadi, hijab merupakan penangkis hasrat-hasrat para lelaki yang rakus kepada kaum wanita…"
(Tafsir as-Sa’di secara ringkas).

KAUM WANITA MESTI BELAJAR AGAMA
Usaha perlawanan terhadap gerakan-gerakan yang membahayakan keutuhan umat wajib ditempuh, terutama oleh kaum wanita itu sendiri. Faktor terpenting yang telah menyeret wanita sehingga mengikuti budaya-budaya yang tidak bermoral, ialah karena unsur jahâlah (ketidaktahuan) terhadap agamanya.
Kebaikan yang sebenarnya bagi kaum wanita, ialah munculnya motivasi dari diri mereka untuk mempelajari hukum-hukum agama, serta kewajiban-kewajiban yang wajib mereka pikul, supaya diri mereka suci dan terjaga dari moral rendah ataupun sumber-sumber kenistaan.
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِـيْ الدِّيْنِ
"Barang siapa dikehendaki kebaikan oleh Allâh padanya,
niscaya Dia akan mencerdaskannya dalam masalah agama."
(HR al-Bukhari dan Muslim)

Secara historis, konsistensi kaum muslimah dengan aturan-aturan Allâh Ta'âla dan nilai-nilai Islam dan moralitasnya merupakan jalan terbaik, dan sarana paling penting untuk memberdayakan kaum wanita dalam pembentukan keluarga, perbaikan dan pengokohan peradaban umat manusia.

KEWAJIBAN ORANG TUA DAN ULAMA
Adanya fenomena negatif yang telah menghinggapi dan menyelimuti kaum wanita (remaja maupun dewasa), maka menjadi kewajiban orang-orang yang memegang kendali perwalian (wilayah) untuk memperhatikan mereka dengan sebaik-baiknya. Memberinya pendidikan dan pembinaan, serta membentengi mereka dari segala pengaruh yang merusak.
Terutama pada masa belakangan ini yang sarat dengan gelombang fitnah dan godaan yang menyergap dari segala penjuru. Para wali itulah yang memikul tanggung jawab yang besar ketika anak perempuan, istri maupun wanita-wanita yang menjadi tanggung jawabnya melakukan tindak penyelewengan.
Secara khusus, kebanyakan saluran informasi (media massa) yang beraneka-ragam bentuknya merupakan bagian dari panah beracun yang dibidikkan para musuh Islam untuk mengobrak-abrik para pembina generasi Islam dan pencetak ksatria masa depan (kaum muslimah). Setidaknya, para musuh Islam telah berhasil merealisasikan tujuannya saat para wali kaum muslimah kurang semangat dalam memikul tanggung jawab dan menyia-nyiakan amanah yang luar biasa besarnya itu, kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allâh.
Allâh Ta'âla berfirman:
(Qs an-Nisâ‘/4:34)
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita…."
(Qs an-Nisâ‘/4:34)
إِنَّ الرِّ جَالَ النَّاظِرِيْنَ إِلَـى النِّسَاءِ
مِثْلُ السِبَاعِ تَطُوْفُ بِاللَّحْمَانِ
إِنْ لَـمْ تَصُنْ تِلْكَ اللُّحُوْمَ أُسُوْدُهَا
أُكِلَتْ بِلاَ عِوَضٍ وَ لاَ أَثْـمَانِ
Sungguh, para lelaki yang melihat kaum wanita,
bak serigala-serigala yang mengitari setumpuk daging.
Jika singa-singa tidak menjaga daging-daging itu,
niscaya akan disantap tanpa timbalbalik maupun harga

Melihat adanya sejumlah orang yang mengadopsi dan mempropagandakan pemikiran liberalisme di tengah masyarakat muslim, dan lantaran muatan negatifnya dalam bentuk penentangan kepada Allâh dan Rasul-Nya, maka Syaikh Shalih Alu Syaikh berpesan, bahwa termasuk hal yang penting, yaitu adanya gerakan ulama, para mahasiswa, dan orang-orang yang mempunyai perhatian besar terhadap kebaikan untuk menghadang ancaman-ancaman itu, menumbangkan syubhat-syubhat mereka, dan membuka kedok mereka.

Diangkat dari kutaib al-Mar‘atu Baina Takrîmil-Islâmi wa Da’awat,
Tahrîr Muhammad bin Nâshir al ‘Uraini.
Pengantar: Syaikh Shalih bin ‘Abdil-’Azîz bin Muhammad Alu Syaikh,
Cetakan V, Tahun 1425

Senin, 20 Mei 2013

Takutlah Terhadap Ancaman Allâh dan Rasul-Nya

Alhamdulillâh, segala puji bagi Allâh Ta'âla yang memberikan hidayah, petunjuk kepada kita. Hidayah inilah yang akan mendatangkan kebahagiaan abadi di akhirat. Kita harus menyadari, bahwa hidayah Islam ini begitu berharga, sehingga dapat mendorong kita untuk berhati-hati dan senantiasa menjaga hidayah ini agar tidak lepas dari diri kita. Terlebih pada zaman ini yang penuh dengan fitnah syubhat dan syahwat.
Dua fitnah ini ibarat virus yang sudah menyebar dan sangat berbahaya hingga banyak mencelakakan manusia. Silau dengan gemerlap dunia menyeret banyak orang terperangkap dalam fitnah syahwat; menyangka itulah kebahagiaan. Padahal kebahagiaan yang dikejar tersebut merupakan kebahagiaan semu dan menipu.
Demikian halnya dengan seseorang yang berperilaku seperti perempuan, padahal ia lelaki atau sebaliknya perempuan tetapi berperilaku lelaki. Bahkan dengan sadar “menentang” larangan Allâh Ta'âla, padahal akibatnya fatal. Disebutkan dalam hadits yang shahîh:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ المُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ، وَالمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ، وَقَالَ: «أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ» قَالَ: فَأَخْرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فُلاَنًا، وَأَخْرَجَ عُمَرُ فُلاَنًا
Dari Ibnu Abbâs radhiyallâhu 'anhuma, ia berkata: "Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam melaknat para lelaki mukhannats dan para wanita mutarajjilah.Kata beliau,‘Keluarkan mereka dari rumah kalian,’ maka Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam mengusir si Fulan, sedangkan Umar mengusir si Fulan”. (HR al-Bukhâri dalam Shahîh-nya, no. 5886)
Dalam riwayat lain disebutkan:
لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ المُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بالنِّسَاءِ ، والمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بالرِّجَالِ
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam melaknat para lelaki yang menyerupai wanita, dan para wanita yang menyerupai laki-laki. (HR al-Bukhâri dalam Shahîhnya, no. 5885)
Riwayat yang kedua ini menafsirkan maksud mukhannats dan mutarajjilah dalam hadits yang pertama di atas. Tidakkah mereka takut mendapatkan laknat dari Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam ?
Fitnah syahwat juga telah membutakan pelakunya, sehingga tidak mau mengerti bahwa perilakunya telah menyimpang dan menyalahi fithrah sebagai manusia, misalnya dengan melakukan perkawinan sejenis. Apakah mereka tidak bisa mengambil pelajaran dari adzab Allâh Ta'âla yang telah ditimpakan pada kaum Luth yang telah melakukan perbuatan keji ini?!
Allâh Ta'âla berfirman:

(QS Hûd/11:82-83)
"Maka tatkala datang adzab Kami, Kami jadikan negeri kaum Lûth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Rabbmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zhalim". (QS Hûd/11:82-83)
Juga hadits Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu 'anhuma:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : مَنْ وَجَدْتُمُوْهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوْطٍ فَاقْتُلُوْا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُوْلَ بِهِ
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda: “Siapa saja yang kalian dapatkan melakukan perbuatan homoseksual, maka bunuhlah kedua pelakunya”. (HR Abu Dâwud, 4462; Ibnu Mâjah, 856; at-Tirmidzi, 1456; dan ad-Darruquthni, 140)
Orang yang menginginkan kebahagiaan pasti takut terhadap semua yang bisa mengancam kebahagiaan yang diidamkan itu. Adakah ancaman yang lebih berbahaya dan menakutkan dibandingkan dengan ancaman yang datang dari Allâh dan Rasul-Nya? Semoga Allâh Ta'âla senantiasa membimbing kita untuk senantiasa takut terhadap siksa dan ancaman-Nya.

Berpegang Pada Kebenaran

Allâh Ta'ala berfirman: (Qs. Ash-Shaf/61: 9) Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama, meskipun orang-orang musyrik benci. (Qs Ash Shaf/61:9) Dalam ayat ini, Allâh Ta'ala memberikan nikmat kepada semua manusia dengan mengutus Rasul dan Nabi terbaik kepada mereka dengan membawa sebaik-baik kitab dan risalah-Nya; yang mencakup penjelasan antara yang haq dan bathil, ilmu yang bermanfaat, amal shalih dan semua yang dibutuhkan oleh hamba demi kemaslahatannya di dunia dan akhirat, agar Allâh Ta'ala meninggikan di atas semua agama dengan hujjah (argumen) dan penjelasan, dan agar Allâh Ta'ala memenangkan orang-orang yang teguh melaksanakannya dengan pedang dan panah. Allâh Ta'ala memerintahkan kepada kaum mukminin agar berpegang teguh dengan agama yang benar dan manhaj yang jelas ini, dalam semua urusan mereka, supaya mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Allâh Ta'ala memperingatkan kepada mereka agar tidak berpaling atau berpegang dengan agama yang lain. Allâh Ta'ala berfirman: (Qs. Al-A’raf/7:3) Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya). (QS Al A’raf/7 :3) Para ahli tafsir mengatakan, yang dimaksud (dengan kata mâ, Red) adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah; karena ia sebagai penjelas dan tafsir bagi Al-Qur’an. Firman Allâh Ta'ala : (Qs. Al-A’raf/7:3) dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya Maksudnya ialah janganlah kalian menjadikan mereka sebagai pemimpin dan mengikuti hawa nafsu mereka dan meninggalkan al-haq karenanya. Banyak dalil-dalil syara’, atsar dari para sahabat, para tabi’in dan para imam kaum muslimin yang memotivasi agar berpegang teguh dengan wahyu dan petunjuk yang dibawa Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tanpa membantahnya dengan perkataan manusia, meskipun orang itu memiliki derajat dan kedudukan tinggi. Apalagi sampai mendahulukan perkataan dan pendapat mereka daripada firman Allâh Ta'ala dan sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Bagi setiap mukallaf, wajib untuk mengikuti kebenaran apabila jelas baginya tanpa tergantung kepada seseorang dalam menerima kebenaran. Banyak nash-nash (teks-teks) yang menunjukkan, bahwa jalan keselamatan bisa dicapai dengan berpegang kepada kebenaran, bukan kepada pribadi-pribadi (tertentu, Red). Berdasarkan dengan kebenaran, perkataan-perkataan dan pendapat-pendapat itu ditimbang, sehingga menjadi jelas benar atau salahnya suatu perkataan dan pendapat. Adapun bergantung kepada orang-orang tertentu, mengikuti perkataan, pendapat dan ijtihad mereka kemudian langsung menerimanya tanpa melihat kesesuaiannya dengan kebenaran yang dibawa Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dari Allâh Ta'ala, maka demikian ini merupakan cara yang berbahaya dan bertentangan dengan petunjuk Salafush Shalih. Dikatakan oleh Imam Syatibi rahimahullâh, ”Menjadikan seseorang sebagai hakim, tanpa memandang keberadaannya sebagai perantara hukum syar’i yang dituntut secara syar’i, sesungguhnya merupakan kesesatan. Dan hujjah penentu dan hakim tertinggi adalah syari’at, bukan yang lainnya. Kemudian kami katakan, demikianlah manhaj para sahabat Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, dan siapa saja yang membaca sejarah dan nukilan-nukilan dari mereka serta mempelajari keadaan mereka, pasti akan mengetahui hal ini dengan ilmu yang yakin.” Beliau rahimahullâh juga berkata, ”Sungguh, kebanyakan orang tersesat akibat berpaling dari dalil-dalil dan (kemudian) bergantung kepada manusia. Mereka keluar dari (pemahaman, Pent) para sahabat dan tabi’in. Mereka memperturutkan hawa nafsu dengan tanpa ilmu, sehingga keluar dari jalan yang lurus.” Beliau rahimahullâh juga mengatakan, bahwa mengekor kepada pribadi-pribadi merupakan ciri orang sesat. DALIL-DALIL WAJIBNYA BERPEGANG KEPADA KEBENARAN Di bawah ini, terdapat beberapa dalil syari’i dan atsar-atsar tentang kewajiban berpegang teguh kepada kebenaran dan mengenyampingkan ketergantungan kepada pribadi-pribadi tertentu. Allâh Ta'ala berfirman, (Qs. Al Hujurat/49:1). Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allâh dan Rasul-Nya. Dan bertaqwalah kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Qs Al-Hujurat/49:1) Syaikh Abdurrahman As Sa’di rahimahullâh berkata, ”Ayat ini memuat adab kepada Allâh, Rasul-Nya, mengagungkan, menghormati serta memuliakan-Nya. Allâh memerintahkan kepada kaum mukminin dengan sesuatu yang menjadi konsekwensi keimanan mereka kepada Allâh dan Rasul-Nya. Yaitu dengan menjalankan perintah-perintah Allâh dan menjauhi larangan-Nya. Dan hendaknya mereka berjalan mengikuti perintah Allâh , mengikuti Sunnah Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dalam semua urusan, tidak mendahului Allâh dan Rasul-Nya; tidak mengatakan sesuatu, sehingga Allâh mengatakannya. Mereka tidak memerintahkan, sehingga Allâh memerintahkannya." Disini juga terdapat larangan yang keras mendahulukan perkataan selain Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam daripada sabdanya. Apabila Sunnah Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam telah jelas, maka wajib mengikuti dan mendahulukannya daripada perkataan yang lainnya, siapapun juga. Allâh Ta'ala berfirman, (Qs. Ali Imran/3:144) Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad). Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allâh sedikitpun; dan Allâh akan memberi balasan kepada orangorang yang bersyukur. (Qs Ali Imran/3:144) Syaikh Abdurrahman As Sa’di rahimahullâh mengatakan : “Dalam ayat yang mulia ini terdapat petunjuk dari Allâh untuk para hamba agar kokoh dalam satu kondisi, tidak goyah keimanannya atau sebagian konsekwensi keimanannya akibat kevakuman pemimpin, walaupun itu sulit. Demikian ini tidak dapat direalisir, kecuali dengan mempersiapkan semua urusan agama dengan sejumlah orang yang memiliki kemampuan. Apabila hilang salah satunya, maka ada orang lain yang menggantikan. Dan hendaknya semua kaum mukmin memiliki tujuan menegakkan agama Allâh dan berjihad semampunya. Dan hendaknya mereka tidak memiliki tendensi pemimpin tertentu, dengan demikian semua urusan mereka menjadi stabil”. Hadits Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam : hadist hadist Umar bin Khathab radhiyallâhu'anhu (datang) kepada Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam sambil membawa sebuah kitab yang ia dapatkan dari sebagian Ahli Kitab. Kemudian Nabi dibacakan kitab tersebut. Nabi marah dan bersabda, ”Apakah engkau merasa bingung dengan apa yang ada di dalamnya, wahai putra Khathab? Demi Dzat, yang jiwaku berada ditangan-Nya. Sungguh aku telah datang kepada kalian dengan membawa sesuatu yang jelas. Janganlah kalian bertanya kepada Ahli Kitab tentang satu hal, karena (mungkin, Red) mereka akan memberitahu kalian satu kebenaran, akan tetapi kalian mendustakannya. Atau mereka mengabarkan satu kebatilan, akan tetapi kalian percaya. Demi Dzat, yang jiwaku berada di tangan-Nya. Seandainya Musa masih hidup, maka wajib baginya untuk mengikutiku. (HR Ahmad, Ibnu Abi Ashim, dan dinyatakan hasan oleh Al Albani) Dari Anas bin Malik radhiyallâhu'anhu, beliau berkata : Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda, hadist Janganlah kalian merasa heran dengan amalan seseorang, sehingga kalian melihat amalan akhir hayatnya, karena mungkin seseorang beramal pada suatu waktu dengan amalan yang shalih, yang seandainya ia mati, maka ia masuk surga. Akan tetapi ia berubah dan mengamal perbuatan yang jelek. Dan mungkin seseorang beramal pada suatu waktu dengan suatu amalan jelek, yang seandainya ia mati, maka akan masuk neraka. Akan tetapi ia berubah dan beramal dengan amalan shalih. Maka apabila Allâh menginginkan satu kebaikan kepada seorang hamba, Allâh akan menunjukinya sebelum ia meninggal dan memberikan taufik kepadanya untuk beramal shalih. (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Ashim dalam kitab As-Sunnah 1/174. Syaikh Al Albani mengatakan,”Sanadnya shahih.”) Juga dari beliau (Anas bin Malik radhiyallâhu'anhu), Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda, hadist Janganlah kalian merasa heran dengan seseorang sampai kalian mengetahui dengan amal apa ia mengakhiri hidupnya. (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Ashim, Syaikh Al Albani mengatakan,”Sanadnya shahih.”) Juga dari beliau (Anas bin Malik radhiyallâhu'anhu), Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda, hadist Akan keluar atau akan ada pada kalian satu kaum yang beribadah dan taat beragama, sehingga kalian merasa takjub dengan mereka dan mereka bangga dengan diri mereka. Mereka keluar dari agama seperti keluarnya anak panah dari busurnya. (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Ashim, Syaikh Al Albani mengatakan,”Sanadnya shahih.”) TIGA HAL YANG MENGHANCURKAN AGAMA Dari Umar bin Khathab radhiyallâhu'anhu, beliau berkata bahwa Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda, hadist Tiga hal yang menghancurkan agama; kesalahan seorang ‘alim, perdebatan orang munafiq dengan menggunakan Al-Qur’an dan para imam yang menyesatkan. (Dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitab Jami’ Bayan Ilmu Wa Fadlihi) Dari Abu Darda’ radhiyallâhu'anhu, beliau berkata Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda, hadist Sesungguhnya diantara yang aku khawatirkan atas kalian, adalah kesalahan orang yang ‘alim, perdebatan orang munafiq dengan Al-Qur’an. Sementara Al-Qur’an adalah sebuah kebenaran, di atasnya ada cahaya seperti rambu-rambu bagi jalan. (Dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitab Jami’ Bayan Ilmu Wa Fadlihi) Dan dari Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu, dia mengatakan : ”Celakalah orang-orang yang mengekor karena kesalahan-kesalahan orang ‘alim.” Beliau ditanya : “Bagaimana itu bisa terjadi?” Beliau berkata, ”Seorang ‘alim berkata tentang sesuatu berdasarkan pendapatnya, kemudian sang pengikut mendapatkan orang yang lebih tahu tentang Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dari imamnya, tapi ia meninggalkan perkataan orang yang lebih tahu tersebut, kemudian pengikut itu berlalu.” Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu'anhu berkata, ”Janganlah kalian mengambil seseorang sebagai tauladan, karena kadang seseorang beramal dengan amalan ahli surga, kemudian ia berbalik karena ilmu Allâh dan beramal dengan amalan ahli neraka, kemudian ia mati, sehingga menjadi ahli neraka. Dan kadang seseorang beramal dengan amalan ahli neraka, kemudian ia berbalik karena ilmu Allâh dan beramal dengan amalan ahli surga, kemudian ia mati, lalu ia menjadi ahli surga. Kalaupun engkau harus mengikuti seseorang, maka ikutilah orang-orang yang sudah mati bukan orang yang masih hidup. (Al Jami’, Ibnu Abdil Barr) TAULADAN TERBAIK Ibnu Mas’ud radhiyallâhu'anhu berkata, ”Ingatlah. Jangan sekali-kali salah seorang diantara kalian bertaqlid kepada seseorang dalam masalah agama; jika panutannya beriman, ia ikut beriman; dan jika panutannya kufur, ia ikut kufur. Sesungguhnya tidak ada tauladan pada manusia”. (Al Jami’, Ibnu Abdil Barr) Beliau radhiyallâhu'anhu juga berkata: “Barangsiapa diantara kalian yang ingin menjadikan seseorang sebagai panutan, maka jadikanlah orang yang sudah mati sebagai panutan. Karena yang masih hidup tidak aman dari fitnah. Mereka (yang sudah mati itu, Red) adalah para sahabat Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Mereka adalah orang-orang yang paling utama (generasi terbaik) dari umat ini, hati mareka paling bertaqwa, paling dalam ilmunya, dan paling sedikit menyusahkan diri. Allâh memilih mereka untuk menemani NabiNya, menegakkan agamaNya. Maka, fahamilah keutamaan mereka dan ikutilah jejak mereka. Sesungguhnya mereka berada diatas jalan yang lurus.” Abdullah bin Mubarak rahimahullâh berkata, ”Bisa jadi seseorang yang memiliki kebaikan dan atsar yang baik dalam Islam, terjatuh kepada kekeliruan dan kesalahan, maka janganlah diikuti kesalahan serta kekeliruan orang tersebut.” Imam Malik rahimahullâh berkata: "Tidaklah setiap perkataan orang itu harus diikuti, walaupun ia memiliki keutamaan, berdasarkan Firman Allâh Ta'ala, (Qs Az Zumar/39:18). yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. (QS Az Zumar:18) Az Zuhri rahimahullâh berkata: "Para ulama kita terdahulu mengatakan,”Berpegang teguh dengan Sunnah adalah keselamatan, dan ilmu akan dicabut dengan cepat. Hidupnya ilmu, berarti kekokohan agama dan dunia, sedangkan hilangnya ilmu, berarti kepunahan semua itu.” Al Auza’i rahimahullâh mengatakan, ”Dikatakan, lima hal yang ditempuh oleh para sahabat Nabidan para tabi’in; berpegang teguh dengan jama’ah, mengikuti Sunnah, memakmurkan masjid, membaca Al Qur’an dan berjihad dijalan Allâh.” Mujahid rahimahullâh mengatakan, ’Tidak ada seorangpun perkataannya (boleh, Red) diambil dan ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.” Ibnu Khuzaimah rahimahullâh berkata, ”Tidaklah ada seseorangpun yang boleh berkata, kecuali bila telah benar kabar dari Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam .” BERPEGANG TEGUH DENGAN SUNNAH Selayaknya bagi yang ingin mencari kebenaran dan mengikuti Sunnah agar mengikatkan dirinya dengan dasar yang agung dan jalan yang jelas ini. Yaitu berpegang teguh dengan Sunnah dan mengikuti pemahaman para salafush shalih, berupa pengagungan terhadap dalil-dalil dan tidak mempertentangkannya dengan perkataan siapapun, apalagi mendahulukan perkataan orang atas dalil tersebut. Dan hendaknya tidak tertipu dengan kebaikan seseorang ataupun dengan amalan seseorang. Karena orang yang masih hidup tidak aman dari fitnah. Sesungguhnya sebaik-baik orang yang diikuti adalah Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan para sahabatnya radhiyallâhu'anhum, yang Allâh Ta'ala telah memberikan tazkiyah (pengakuan, Red.) kepada mereka. Allâh Ta'ala telah berfirman di dalam kitab-Nya (A-Qur'an) dan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam telah wafat. Allâh Ta'ala ridha atas mereka (para sahabat radhiyallâhu'anhum) dan para tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik. Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam telah bersabda tentang mereka: hadist Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian yang setelahnya, kemudian yang setelahnya. (Muttafaq ‘alaih) Semoga bermanfaat.

Mewaspadai Bahaya Korupsi

Menengok keadaan saat ini, betapa banyak orang yang melakukan perbuatan yang amat tercela ini. Bahkan hampir kita dapati dalam semua lapisan masyarakat, dari masyarakat yang paling bawah, menengah sampai kalangan atas. Khalayak pun kemudian menggolongkan para pelaku korupsi ini menjadi berkelas-kelas. Mulai koruptor kelas teri sampai kelas kakap. Dalam lingkup masyarakat bawah, mungkin pernah atau bahkan banyak kita jumpai, seseorang yang mendapat amanah untuk membelanjakan sesuatu, kemudian setelah dibelanjakan, uang yang diberikan pemiliknya masih tersisa, tetapi dia tidak memberitahukan adanya sisa uang tersebut, meskipun hanya seratus rupiah, melainkan masuk ke ‘saku’nya, atau dengan cara memanipulasi nota belanja. Adapun koruptor kelas kakap, maka tidak tanggung-tanggung yang dia ‘embat’ sampai milyaran bahkan triliyunan. Sejauh mana bahaya perbuatan ini? Kami mencoba mengulasnya dengan mengambil salah satu hadits Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam berikut ini. Semoga bermanfaat, dan kita dapat menghindari ataupun mewaspadai bahayanya. (Redaksi). Dari ‘Adiy bin ‘Amirah Al Kindi radhiyallâhu' anhu berkata: Aku pernah mendengar Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda: ((مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا فَمَا فَوْقَهُ كَانَ غُلُولًا يَأْتِي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ))، قَالَ: فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ أَسْوَدُ مِنْ الْأَنْصَارِ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ اقْبَلْ عَنِّي عَمَلَكَ، قَالَ: ((وَمَا لَكَ؟))، قَالَ: سَمِعْتُكَ تَقُولُ كَذَا وَكَذَا، قَالَ: ((وَأَنَا أَقُولُهُ الْآنَ، مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَلْيَجِئْ بِقَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ فَمَا أُوتِيَ مِنْهُ أَخَذَ وَمَا نُهِيَ عَنْهُ انْتَهَى)) “Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (belenggu, harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat”. (‘Adiy) berkata : Maka ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam, seolah-olah aku melihatnya, lalu dia berkata,"Wahai Rasûlullâh, copotlah jabatanku yang engkau tugaskan." Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam bertanya,"Ada apa gerangan?” Dia menjawab,"Aku mendengar engkau berkata demikian dan demikian (maksudnya perkataan di atas, Pen.)." Beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam pun berkata,"Aku katakan sekarang, (bahwa) barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), maka hendaklah dia membawa (seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, maka dia (boleh) mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh.” TAKHRIJ HADITS Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam kitab al Imarah, bab Tahrim Hadaya al ‘Ummal, hadits no. 3415. Abu Dawud dalam Sunan-nya dalam kitab al Aqdhiyah, bab Fi Hadaya al ‘Ummal, hadits no. 3110. Imam Ahmad dalam Musnad-nya, 17264 dan 17270, dari jalur Isma’il bin Abu Khalid, dari Qais bin Abu Hazim, dari Sahabat ‘Adiy bin ‘Amirah al Kindi radhiyallâhu' anhu di atas. Adapun lafadz hadits di atas dibawakan oleh Muslim. BIOGRAFI SINGKAT ‘ADIY BIN ‘AMIRAH RADHIYALLÂHU 'ANHU Beliau merupakan sahabat mulia, nama lengkapnya ‘Adiy bin ‘Amirah bin Farwah bin Zurarah bin al Arqam, Abu Zurarah al Kindi. Beliau hanya sedikit meriwayatkan hadits Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam, di antaranya adalah hadits ini. Beliau wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah radhiyallâhu' anhu. Ada pula yang berpendapat selain itu [1]. Wallâhu a’lam bish shawab. MUFRADAT (KOSA KATA) Kata ghululan (غُلُولاً) dalam lafadz Muslim, atau ghullun (غُلٌّ) dalam lafadz Abu Dawud, keduanya dengan huruf ghain berharakat dhammah. Ini mengandung beberapa pengertian, di antaranya bermakna belenggu besi, atau berasal dari kata kerja ghalla (غَلَّ) yang berarti khianat[2]. Ibnul Atsir menerangkan, kata al ghulul (الْغُلُولُ), pada asalnya bermakna khianat dalam urusan harta rampasan perang, atau mencuri sesuatu dari harta rampasan perang sebelum dibagikan[3]. Kemudian, kata ini digunakan untuk setiap perbuatan khianat dalam suatu urusan secara sembunyi-sembunyi.[4] Jadi, kata ghulul (الْغُلُولُ) di atas, secara umum digunakan untuk setiap pengambilan harta oleh seseorang secara khianat, atau tidak dibenarkan dalam tugas yang diamanahkan kepadanya (tanpa seizin pemimpinnya atau orang yang menugaskannya). Dalam bahasa kita sekarang, perbuatan ini disebut korupsi, seperti tersebut dalam hadits yang sedang kita bahas ini. MAKNA HADITS Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam menyampaikan peringatan atau ancaman kepada orang yang ditugaskan untuk menangani suatu pekerjaan (urusan), lalu ia mengambil sesuatu dari hasil pekerjaannya tersebut secara diam-diam tanpa seizin pimpinan atau orang yang menugaskannya, di luar hak yang telah ditetapkan untuknya, meskipun hanya sebatang jarum. Maka, apa yang dia ambil dengan cara tidak benar tersebut akan menjadi belenggu, yang akan dia pikul pada hari Kiamat. Yang dia lakukan ini merupakan khianat (korupsi) terhadap amanah yang diembannya. Dia akan dimintai pertanggungjawabnya nanti pada hari Kiamat. Ketika kata-kata ancaman tersebut didengar oleh salah seorang dari kaum Anshar, yang orang ini merupakan satu di antara para petugas yang ditunjuk oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam, serta merta dia merasa takut. Dia meminta kepada Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam untuk melepaskan jabatannya. Maka Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam menjelaskan, agar setiap orang yang diberi tugas dengan suatu pekerjaan, hendaknya membawa hasil dari pekerjaannya secara keseluruhan, sedikit maupun banyak kepada beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam. Kemudian mengenai pembagiannya, akan dilakukan sendiri oleh beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam. Apa yang diberikan, berarti boleh mereka ambil. Sedangkan yang ditahan oleh beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam, maka mereka tidak boleh mengambilnya. SYARAH HADITS Hadits di atas intinya berisi larangan berbuat ghulul (korupsi), yaitu mengambil harta di luar hak yang telah ditetapkan, tanpa seizin pimpinan atau orang yang menugaskannya. Seperti ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Buraidah radhiyallâhu' anhu, bahwa Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda: ((مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقاً فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ)) "Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul (korupsi)".[5] Asy Syaukani menjelaskan, dalam hadits ini terdapat dalil tidak halalnya (haram) bagi pekerja (petugas) mengambil tambahan di luar imbalan (upah) yang telah ditetapkan oleh orang yang menugaskannya, dan apa yang diambilnya di luar itu adalah ghulul (korupsi).[6] Dalam hadits tersebut maupun di atas, Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam menyampaikan secara global bentuk pekerjaan atau tugas yang dimaksud. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa peluang melakukan korupsi (ghulul) itu ada dalam setiap pekerjaan dan tugas, terutama pekerjaan dan tugas yang menghasilkan harta atau yang berurusan dengannya. Misalnya, tugas mengumpulkan zakat harta, yang bisa jadi bila petugas tersebut tidak jujur, dia dapat menyembunyikan sebagian yang telah dikumpulkan dari harta zakat tersebut, dan tidak menyerahkan kepada pimpinan yang menugaskannya. HUKUM SYARI’AT TENTANG KORUPSI Sangat jelas, perbuatan korupsi dilarang oleh syari’at, baik dalam Kitabullâh (al Qur`an) maupun hadits-hadits Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam yang shahih. Di dalam Kitabullâh, di antaranya adalah firman Allâh Ta'âla : Ali Imran/3: 161 "Tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang itu), maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu …" (Qs. Ali Imran/3: 161) Dalam ayat tersebut Allâh Ta'âla mengeluarkan pernyataan bahwa, semua nabi Allâh terbebas dari sifat khianat, di antaranya dalam urusan rampasan perang. Menurut penjelasan Ibnu Abbas radhiyallâhu 'anhu, ayat ini diturunkan pada saat (setelah) perang Badar, orang-orang kehilangan sepotong kain tebal hasil rampasan perang. Lalu sebagian mereka, yakni kaum munafik mengatakan, bahwa mungkin Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam telah mengambilnya. Maka Allâh Ta'âla menurunkan ayat ini untuk menunjukkan jika Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam terbebas dari tuduhan tersebut. Ibnu Katsir rahimahullâh menambahkan, pernyataan dalam ayat tersebut merupakan pensucian diri Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam dari segala bentuk khianat dalam penunaian amanah, pembagian rampasan perang, maupun dalam urusan lainnya[7]. Hal itu, karena berkhianat dalam urusan apapun merupakan perbuatan dosa besar. Semua nabi Allâh ma’shum (terjaga) dari perbuatan seperti itu. Mengenai besarnya dosa perbuatan ini, dapat kita pahami dari ancaman yang terdapat dalam ayat di atas, yaitu ketika Allâh mengatakan : “Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang itu), maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu …” Ibnu Katsir rahimahullâh mengatakan,"Di dalamnya terdapat ancaman yang amat keras.”[8] Selain itu, perbuatan korupsi (ghulul) ini termasuk dalam kategori memakan harta manusia dengan cara batil yang diharamkan Allâh Ta'âla, sebagaimana dalam firmanNya: Qs. al Baqarah/2:188 "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui" (Qs. al Baqarah/2:188) Juga firmanNya : Qs. an Nisâ`/4 : 29 "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil…" (Qs. an Nisâ`/4 : 29) Adapun larangan berbuat ghulul (korupsi) yang datang dari Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam, maka hadits-hadits yang menunjukkan larangan ini sangat banyak, di antaranya hadits dari ‘Adiy bin ‘Amirah radhiyallâhu' anhu dan hadits Buraidah radhiyallâhu' anhu di atas. PINTU-PINTU KORUPSI Peluang melakukan korupsi ada di setiap tempat, pekerjaan ataupun tugas, terutama yang diistilahkan dengan tempat-tempat “basah”. Untuk itu, setiap muslim harus selalu berhati-hati, manakala mendapatkan tugas-tugas. Dengan mengetahui pintu-pintu ini, semoga kita selalu waspada dan tidak tergoda, sehingga nantinya mampu menjaga amanah yang menjadi tanggung jawab kita. Berikut adalah di antara pintu-pintu korupsi. 1. Saat pengumpulan harta rampasan perang, sebelum harta tersebut dibagikan. Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam menceritakan: ((غَزَا نَبِيٌّ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ فَقَالَ لِقَوْمِهِ لَا يَتْبَعْنِي رَجُلٌ مَلَكَ بُضْعَ امْرَأَةٍ وَهُوَ يُرِيدُ أَنْ يَبْنِيَ بِهَا وَلَمَّا يَبْنِ بِهَا وَلَا أَحَدٌ بَنَى بُيُوتًا وَلَمْ يَرْفَعْ سُقُوفَهَا وَلَا أَحَدٌ اشْتَرَى غَنَمًا أَوْ خَلِفَاتٍ وَهُوَ يَنْتَظِرُ وِلَادَهَا فَغَزَا فَدَنَا مِنْ الْقَرْيَةِ صَلَاةَ الْعَصْرِ أَوْ قَرِيبًا مِنْ ذَلِكَ فَقَالَ لِلشَّمْسِ إِنَّكِ مَأْمُورَةٌ وَأَنَا مَأْمُورٌ اللَّهُمَّ احْبِسْهَا عَلَيْنَا فَحُبِسَتْ حَتَّى فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ فَجَمَعَ الْغَنَائِمَ فَجَاءَتْ يَعْنِي النَّارَ لِتَأْكُلَهَا فَلَمْ تَطْعَمْهَا فَقَالَ إِنَّ فِيكُمْ غُلُولًا فَلْيُبَايِعْنِي مِنْ كُلِّ قَبِيلَةٍ رَجُلٌ فَلَزِقَتْ يَدُ رَجُلٍ بِيَدِهِ فَقَالَ فِيكُمْ الْغُلُولُ فَلْيُبَايِعْنِي قَبِيلَتُكَ فَلَزِقَتْ يَدُ رَجُلَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٍ بِيَدِهِ فَقَالَ فِيكُمْ الْغُلُولُ فَجَاءُوا بِرَأْسٍ مِثْلِ رَأْسِ بَقَرَةٍ مِنْ الذَّهَبِ فَوَضَعُوهَا فَجَاءَتْ النَّارُ فَأَكَلَتْهَا، ثُمَّ أَحَلَّ اللَّهُ لَنَا الْغَنَائِمَ رَأَى ضَعْفَنَا وَعَجْزَنَا فَأَحَلَّهَا لَنَا)) "Ada seorang nabi berperang, lalu ia berkata kepada kaumnya : "Tidak boleh mengikutiku (berperang) seorang yang telah menikahi wanita, sementara ia ingin menggaulinya, dan ia belum melakukannya; tidak pula seseorang yang yang telah membangun rumah, sementara ia belum memasang atapnya; tidak pula seseorang yang telah membeli kambing atau unta betina yang sedang bunting, sementara ia menunggu (mengharapkan) peranakannya". Lalu nabi itu pun berperang dan ketika sudah dekat negeri (yang akan diperangi) tiba atau hampir tiba shalat Ashar, ia berkata kepada matahari : "Sesungguhnya kamu diperintah, dan aku pun diperintah. Ya Allâh, tahanlah matahari ini untuk kami," maka tertahanlah matahari itu hingga Allâh membukakan kemenangan baginya. Lalu ia mengumpulkan harta rampasan perang. Kemudian datang api untuk melahapnya, tetapi api tersebut tidak dapat melahapnya. Dia (nabi itu) pun berseru (kepada kaumnya): "Sesungguhnya di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul (mengambil harta rampasan perang secara diam-diam). Maka, hendaklah ada satu orang dari setiap kabilah bersumpah (berbai’at) kepadaku," kemudian ada tangan seseorang menempel ke tangannya (berbai’at kepada nabi itu), lalu ia (nabi itu) berkata,"Di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul, maka hendaknya kabilahmu bersumpah (berbai’at) kepadaku," kemudian ada tangan dari dua atau tiga orang menempel ke tangannya (berbai’at kepada nabi itu), lalu ia (nabi itu) berkata,"Di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul," maka mereka datang membawa emas sebesar kepala sapi, kemudian mereka meletakkannya, lalu datanglah api dan melahapnya. Kemudian Allâh menghalalkan harta rampasan perang bagi kita (karena) Allâh melihat kelemahan kita.[9] 2 Ketika pengumpulan zakat mâl (harta) Seseorang yang diberi tugas mengumpulkan zakat mâl oleh seorang pemimpin negeri, jika tidak jujur, sangat mungkin ia mengambil sesuatu dari hasil (zakat mâl) yang telah dikumpulkannya, dan tidak menyerahkannya kepada pemimpin yang menugaskannya. Atau dia mengaku yang dia ambil adalah sesuatu yang dihadiahkan kepadanya. Peristiwa semacam ini pernah terjadi pada masa Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam, dan beliau memperingatkan dengan keras kepada petugas yang mendapat amanah mengumpulkan zakat mâl tersebut dengan mengatakan: ((أَفَلَا قَعَدْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَأُمِّكَ فَنَظَرْتَ أَيُهْدَى لَكَ أَمْ لَا)) "Tidakkah kamu duduk saja di rumah bapak-ibumu, lalu lihatlah, apakah kamu akan diberi hadiah (oleh orang lain) atau tidak?" Kemudian pada malam harinya selepas shalat Isya’ Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam berceramah (untuk memperingatkan perbuatan ghulul kepada khalayak). Di antara isi penjelasan beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam mengatakan : ((فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَغُلُّ أَحَدُكُمْ مِنْهَا شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى عُنُقِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا جَاءَ بِهِ لَهُ رُغَاءٌ وَإِنْ كَانَتْ بَقَرَةً جَاءَ بِهَا لَهَا خُوَارٌ وَإِنْ كَانَتْ شَاةً جَاءَ بِهَا تَيْعَرُ)) "(Maka) Demi (Allâh), yang jiwa Muhammad berada di tanganNya. Tidaklah seseorang dari kalian mengambil (mengkorupsi) sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia akan datang pada hari Kiamat membawanya di lehernya. Jika (yang dia ambil) seekor unta, maka (unta itu) bersuara. Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itu pun) bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka (kambing itu pun) bersuara …"[10] 3. Hadiah untuk petugas, dengan tanpa sepengetahuan dan izin pemimpin atau yang menugaskannya Dalam hal ini, Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam pernah bersabda: ((هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ)) "Hadiah untuk para petugas adalah ghulul"[11] 4. Setiap tugas apapun, terutama yang berurusan dengan harta, seperti seorang yang mendapat amanah memegang perbendaharaan negara, penjaga baitul mâl atau yang lainnya, terdapat peluang bagi seseorang yang berniat buruk untuk melakukan ghulul (korupsi), padahal dia sudah memperoleh upah yang telah ditetapkan untuknya Telah disebutkan dalam hadits yang telah lalu, yaitu sabda Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam, yang artinya : Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul (korupsi).[12] BAHAYA PERBUATAN GHULUL (KORUPSI) Tidaklah Allâh melarang sesuatu, melainkan di balik itu terkandung keburukan dan mudharat (bahaya) bagi pelakunya. Begitu pula dengan perbuatan ghulul (korupsi), tidak luput dari keburukan dan mudharat tersebut. Diantaranya : 1. Pelaku ghulul (korupsi) akan dibelenggu, atau ia akan membawa hasil korupsinya pada hari Kiamat, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat ke-161 surat Ali Imran dan hadits ‘Adiy bin ‘Amirah radhiyallâhu' anhu di atas. Dan dalam hadits Abu Humaid as Sa’idi radhiyallâhu' anhu, Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda : ((... وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ...)) "Demi (Allâh), yang jiwaku berada di tanganNya. Tidaklah seseorang mengambil sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia akan datang pada hari Kiamat membawanya di lehernya. Jjika (yang dia ambil) seekor unta, maka (unta itu) bersuara. Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itu pun) bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka (kambing itu pun) bersuara …”[13] 2. Perbuatan korupsi menjadi penyebab kehinaan dan siksa api neraka pada hari Kiamat. Dalam hadits Ubadah bin ash Shamit radhiyallâhu' anhu, bahwa Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda : ((... فَإِنَّ الْغُلُولَ عَارٌ عَلَى أَهْلِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشَنَارٌ وَنَارٌ)) "…(karena) sesungguhnya ghulul (korupsi) itu adalah kehinaan, aib dan api neraka bagi pelakunya".[14] 3. Orang yang mati dalam keadaan membawa harta ghulul (korupsi), ia tidak mendapat jaminan atau terhalang masuk surga. Hal itu dapat dipahami dari sabda Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam: ((مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِيءٌ مِنْ ثَلَاثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنْ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ)) "Barangsiapa berpisah ruh dari jasadnya (mati) dalam keadaan terbebas dari tiga perkara, maka ia (dijamin) masuk surga. Yaitu kesombongan, ghulul (korupsi) dan hutang".[15] 4. Allâh tidak menerima shadaqah seseorang dari harta ghulul (korupsi), sebagaimana dalam sabda Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam : ((لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ)) "Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan shadaqah tidak diterima dari harta ghulul (korupsi)".[16] 5. Harta hasil korupsi adalah haram, sehingga ia menjadi salah satu penyebab yang dapat menghalangi terkabulnya do’a, sebagaimana dipahami dari sabda Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam : ((أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ وَقَالَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ)) "Wahai manusia, sesungguhnya Allâh itu baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allâh memerintahkan orang-orang yang beriman dengan apa yang Allâh perintahkan kepada para rasul. Allâh berfirman,"Wahai para rasul, makanlah dari yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan". Dia (Allâh) juga berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, makanlah yang baik-baik dari yang Kami rizkikan kepada kamu," kemudian beliau (Rasûlullâh) shallallâhu 'alaihi wa sallam menceritakan seseorang yang lama bersafar, berpakaian kusut dan berdebu. Dia menengadahkan tangannya ke langit (seraya berdo’a): "Ya Rabb…, ya Rabb…," tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dirinya dipenuhi dengan sesuatu yang haram. Maka, bagaimana do’anya akan dikabulkan?".[17] Demikian yang bisa tuliskan untuk para pembaca seputar masalah korupsi. Mudah-mudahan Allâh Ta'âla menyelamatkan kita dari segala keburukan yang lahir maupun tersembunyi. Dan semoga uraian singkat ini bermanfaat. Wallâhu a’lam bish Shawab. [1] Lihat Tahdzibul Kamal, II/924 -copi manuskrip oleh Penerbit Daarul Ma’mun lit Turats, Damaskus, dan didistribusikan oleh Maktabatul Ghuraba, Madinah. Lihat juga Taqributh Tahdzib, urutan no. 4544. [2] Lisanul ‘Arab, 11/499. [3] Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallâhu' anhutentang kisah seorang nabi (sebelum Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam) dengan umatnya ketika mereka memperoleh rampasan perang. Kemudian di antara mereka ada yang mencuri harta rampasan perang tersebut, hingga Allâh mengirimkan api dan melahap semua harta rampasan perang tersebut, dan Allâh mengharamkannya untuk umat sebelum umat Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam. (Muttafaqun ‘alaihi. Al Bukhari dalam kitab Fardhul Khumus, bab Qaulun Nabiyyi n (Uhillat), hadits no. 3124, dan Muslim dalam kitab al Jihad was Sair, bab Tahlilil Ghana-im li Hadzihil Ummati Khashshatan, hadits no. 3287.) [4] Lihat an Nihayah fi Gharibil Hadits, 3/380. [5] HR Abu Dawud dalam Sunan-nya di kitab al Kharaj wal Imarah wal Fa-i, bab Fi Arzaqul Ummal, hadits no. 2943 dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahih Abi Dawud dan Shahihul Jami’ish Shaghir, no. 6023. [6] Nailul Authar, 4/233. [7] Tafsir Ibnu Katsir (1/398). [8] Ibid. [9] HR al Bukhari dalam kitab Fardhul Khumus, bab Qaulun Nabiyyi n (Uhillat), hadits no. 3124 dan Muslim dalam kitab al Jihad was Sayr, bab Tahlilil Ghana-im li Hadzihil Ummati Khashshah, hadits no. 3287. [10] HR al Bukhari dalam kitab al Aiman wan Nudzur, bab Kaifa Kaanat Yamiinun Nabiyyi n , hadits no. 6636 dan lainnya dengan lafazh yang berdekatan, serta Muslim dalam kitab al Imarah, bab Tahrim Hadayal ‘Ummal, hadits no. 3413 dan 3414 dengan lafazh yang serupa, dan ada sedikit perbedaan. [11] HR Ahmad, no. 23090 dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Irwa’ul Ghalil hadits no. 2622. [12] Lihat takhrijnya pada catatan kaki no. 5. [13] HR al Bukhari dalam kitab al Hibah wa Fadhluha wat Tahridhu ‘Alaiha, bab Man lam Yaqbalil Hadiyata li ‘Illatin, hadits no. 2597 dan Muslim (dengan lafazh serupa) dalam kitab al Imarah, bab Tahrim Hadayal ‘Ummal, hadits no. 3413. [14] HR Ibnu Majah dalam kitab al Jihad, bab al Ghulul, hadits no. 2850, dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah dan Shahihul Jami’ish Shaghir, no. 7869. [15] HR Ahmad, no. 21291; at Tirmidzi, no. 1572; an Nasaa-i dan Ibnu Majah. [16] HR Muslim dalam kitab Thaharah, bab Wujubuth Thaharah lish Shalati, hadits no. 329, dari Ibnu Umar radhiyallâhu' anhu, dan diriwayatkan pula oleh yang lain dari Ibnu ‘Umar dan Usamah bin Umair al Hudzali radhiyallâhu' anhu. [17] HR Muslim dalam kitab az Zakat, bab Qabulush Shadaqati minal Kasbit Thayyibi wa Tarbiyatuha, hadits no. 1686. Sumber :

Agama Adalah Nasihat

Dari Abi Ruqayyah, Tamim bin Aus ad-Dâri radhiyallâhu'anhu, dari Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bahwasanya beliau bersabda: “Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat”. Mereka (para sahabat) bertanya, ”Untuk siapa, wahai Rasûlullâh?” Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab, ”Untuk Allâh, Kitab-Nya, Rasul-Nya, Imam kaum Muslimin atau Mukminin, dan bagi kaum Muslimin pada umumnya.” Hadist ini merupakan ucapan singkat dan padat, yang hanya dimiliki oleh Nabi.Saw. Ucapan Singkat, namun memiliki artian yang luas dan tidak terbatas pada nasihat semata. banyak mengandung berbagai nilai dan manfaat penting. semua hukum syari'at baik ushul (pokok) maupun furu' (cabang) terdapat padanya. karena kitab Allah.SWT Mencakup seluruh permasalahan baik itu Ushul maupun Furu'. Berdasarkan Firman Allah.SWT. : Tidaklah Kami alpakan sesuatu pun dalam Kitab ini. (Qs al-An’âm/6:38) Oleh karena itu, ada pula Ulama yang berpendapat bahwa, hadist ini merupakan poros dari ajaran Islam. Dalam hadits ini Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menamakan agama sebagai nasihat. Padahal beban syari’at sangat banyak dan tidak terbatas hanya pada nasihat. Lalu apakah maksud Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tersebut? Para ulama telah memberikan jawaban. Pertama, hal ini bermakna, bahwa hampir semua ajaran agama Islam adalah nasihat, sebagaimana halnya sabda Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam: الْحَجُّ عَرَفَةُ Haji itu adalah wukuf di ‘Arafah.[5] Kedua, agama Islam itu seluruhnya adalah nasihat. Karena setiap amalan yang dilakukan tanpa disertai ikhlas, maka tidak termasuk agama Islam.[6] Setiap nasihat untuk Allâh Ta'ala menuntut pelaksanaan kewajiban agama secara sempurna. Inilah yang disebut derajat ihsân. Tidaklah sempurna nasihat untuk Allâh tanpa hal ini. Tidaklah mungkin dicapai, bila tanpa disertai kesempurnaan cinta yang wajib dan sunnah, tetapi juga diperlukan kesungguhan mendekatkan diri kepada Allâh Ta'ala, yaitu dengan melaksanakan sunnah-sunnah secara sempurna dan meninggalkan hal-hal yang haram dan makruh secara sempurna pula.[7] Ketiga, nasihat meliputi seluruh bagian Islam, iman, dan ihsân, sebagaimana telah dijelaskan dalam hadits Jibril. Dengan demikian jelaslah keterangan para ulama tentang maksud sabda beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam “agama itu nasihat”. Karena nasihat, adakalanya bermakna pensifatan sesuatu dengan sifat kesempurnaan Allâh, Kitab-Nya, dan Rasul-Nya. Adakalanya merupakan penyempurnaan kekurangan yang terjadi, berupa nasihat untuk pemimpin dan kaum Muslimin pada umumnya, sebagaimana rincian selanjutnya dalam hadits ini.